TUGAS INDIVIDU
TRADISI PERNIKAHAN DI GUNUNGKIDUL
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kebudayaan Daerah
Dosen Pemgampu: Poppy Indriyanti,
M. Sn, S. Sn
Oleh:
Dewi
Lestari
(2013015056)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA
TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2015
Kebudayaan/tradisi
pernikahan yang ada di Dusun Gunungasem, Desa Ngoro-oro, Kecamatan Patuk,
Kabupaten Gunungkidul secara garis besar sama seperti tradisi pernikahan jawa
pada umumnya hanya saja dalam pelaksanaannya tidak selengkap tradisi pernikahan
Yogyakarta, diantaranya sebagai berikut:
A. Sistem
Budaya
Pada zaman dahulu seseorang menikah kebanyakan
karena perjodohan. Orang tua menikahkan anaknya pada umumnya hanya dengan
tetangga, sehingga keluarga besar tinggal berdekatan. Seorang perempuan yang
sudah ditembung dalam bahasa jawa (dilamar) ke rumah si perempuan, maka
perempuan tersebut tidak boleh menolaknya. Masyarakat dulu mempercayai ketika
seorang perempuan menolak laki-laki yang datang melamarnya maka dikemudian hari
dia akan jauh dari jodohnya, dan hal tersebut masih dipercaya sampai sekarang.
B. Sistem
Sosial
Dari tradisi pernikahan yang ada di desa saya,
berikut sistem sosial yang berlaku dimasyarakat dulu dan sekarang:
1. Sistem
Sosial Zaman Dulu dan Sekarang
a.
Babat alas artinya membuka hutan untuk
merintis membuat lahan.
Dalam
hal babat alas ini orangtua pemuda merintis seorang congkok untuk mengetahui
apakah si gadis sudah mempunyai calon atau belum. Istilah umumnya disebut
nakokake artinya menanyakan. Kalau sang pemuda belum kenal dengan sang gadis,
maka adanya upacara nontoni, yaitu sang pemuda diajak keluarganya datang ke
rumah sang gadis, pada saat pemuda itu diajak/ diberi kesempatan untuk nontoni
sang gadis pilihan orang tuanya. Bila
cocok artinya saling setuju, kemudian disusul dengan upacara nglamar atau
meminang. Dalam upacara nglamar, keluarga pihak sang pemuda menyerahkan barang
kepada pihak sang gadis sebagai peningset yang terdiri dari pakaian lengkap,
dalam bahasa Jawanya sandangan sapangadek.
Untuk
sekarang hal tersebut sudah tidak ada. Untuk jaman sekarang anak mencari
sendiri calon pengantinnya. Setelah laki-laki tersebut mendapatkan jodoh
pilihannya, kemudian keluarga langsung berkunjung ke rumah si perempuan untuk
melamarkan si perempuan untuk anak laki-lakinya.
b.
Menjelang hari perkawinan diadakan upacara
srah-srahan atau asok tukon
Yaitu
pihak calon pengantin putra menyerahkan sejumlah hadiah perkawinan kepada
keluarga pihak calon pengantin putri berupa hasil bumi, alat-alat rumah tangga,
ternak dan kadang-kadang ditambah sejumlah uang.
Untuk
yang satu satu ini sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Dusun Gunungasem,
akan tetapi srah-srahan dilakukan bersamaan dengan acara ijab atau akad nikah yang
diadakan dikeluarga perempuan.
c.
Kira-kira 7 hari (dulu 40 hari) sebelum
hari pernikahan calon pengantin putri dipingit
Artinya
tidak boleh keluar dari rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon suaminya. Sehari
atau dua hari sebelum upacara akad nikah di rumah orangtua calon pengantin
putri membuat tratag dan menghias rumah. Kesibukan tersebut biasanya juga dinamakan
upacara pasang tarub.
Untuk
hal acara pingitan sekarang tidak semua orang melakukannya, bahkan mungkin
sudah tidak ada yang melakukannya dengan berkembangnya jaman pemikiran semakin
lama juga terpengaruh. Untuk sekarang ada keluarga yang sengaja mengadakan
acara resepsi dengan menggabungkan pihak laki-laki dan perempuan yang sudah mengadakan
ijab qobul terlebih dahulu. Jadi pembuatan tratag ada yang jadi satu karena
acaranya yang diadakan secara bersama, dan ada juga yang membuat
sendiri-sendiri dikediaman masing-masing.
d.
Pada pagi harinya atau sore harinya
dilangsungkan upacara ijab kabul yaitu meresmikan kedua insan antara pria dan
wanita yang memadu kasih telah sah menjadi suami istri.
Acara
ijab qobul dulu dan sekarang biasanya bedhol dalam bahasa jawa (mengundang
penghulu ke rumah pengantin perempuan). Aturan dalam acara resepsi pada jaman
dulu diantaranya diadakanya nubruk kembar mayang dan diperebutkan dengan orang
yang menyaksikan. Kembar mayang tersebut ada berupa benda-benda yang dibuat
dari janur (daun kelapa yang masih muda) seperti, keris, pedang, belalang-belalangan.
Setelah nubruk kembar mayang kemudian si pengantin menginjak pasangan (alat
yang dipakai untuk membajak sawah) kemudian dilanjutkan acara injak telur dan
menyuci kaki pengantin pria. Setelah itu pengantin pria memberikan
kroncong-kroncong (gunakaya) yang isinya berupa biji-bijian, dimana sebagai
simbol seorang suami memberikan nafkah kepada istri untuk diterima istri dan
dikelola oleh sang istri. Kemudian dilanjutkan acara dulang-dulangan
(suap-suapan), dan dilanjutkan acara sungkeman meminta doa restu kepada kedua
orang tua mempelai. Setelah itu adanya pasrah tompo temanten putra kepada
pengantin putri dari perwakilan keluarga pengantin pria, kemudian diterima oleh
perwakilan pihak pengantin wanita. Setelah selesai acara dari pihak pengantin
putri, kemudian ada acara boyongan, dimana pengantin putri diboyong ke rumah
pengantin putra.
Untuk
acara nubruk kembar mayang pada jaman sekarang sudah tidak ada. Dan untuk injak
telur dan memberikan kroncong-kroncong, suap-suapan ada beberapa yang masih
melakukannya. Dalam adat yang dianut sekarang pernikahan lebih ke islami karena
masyarakat di Desa Gunungasem yang notabene beragama islam sehingga untuk
sekarang acara pernikahan lebih kepada penggunaan busana muslim. Untuk acara
ijab qobul masih sama, kemudian adanya sungkem untuk beberapa saja yang masih
memakai. Dilanjutkan dengan acara srah tompo dan juga ada acara walimah
(pengajian) dan yang terakhir adanya acara boyongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar