Kamis, 27 Oktober 2016

tradisi pernikahan di Gunungkidul



TUGAS INDIVIDU
TRADISI PERNIKAHAN DI GUNUNGKIDUL
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebudayaan Daerah
Dosen Pemgampu: Poppy Indriyanti, M. Sn, S. Sn
Oleh:

Dewi Lestari
(2013015056)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2015

Kebudayaan/tradisi pernikahan yang ada di Dusun Gunungasem, Desa Ngoro-oro, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul secara garis besar sama seperti tradisi pernikahan jawa pada umumnya hanya saja dalam pelaksanaannya tidak selengkap tradisi pernikahan Yogyakarta, diantaranya sebagai berikut:
A.    Sistem Budaya
Pada zaman dahulu seseorang menikah kebanyakan karena perjodohan. Orang tua menikahkan anaknya pada umumnya hanya dengan tetangga, sehingga keluarga besar tinggal berdekatan. Seorang perempuan yang sudah ditembung dalam bahasa jawa (dilamar) ke rumah si perempuan, maka perempuan tersebut tidak boleh menolaknya. Masyarakat dulu mempercayai ketika seorang perempuan menolak laki-laki yang datang melamarnya maka dikemudian hari dia akan jauh dari jodohnya, dan hal tersebut masih dipercaya sampai sekarang.
B.     Sistem Sosial
Dari tradisi pernikahan yang ada di desa saya, berikut sistem sosial yang berlaku dimasyarakat dulu dan sekarang:
1.      Sistem Sosial Zaman Dulu dan Sekarang
a.         Babat alas artinya membuka hutan untuk merintis membuat lahan.
Dalam hal babat alas ini orangtua pemuda merintis seorang congkok untuk mengetahui apakah si gadis sudah mempunyai calon atau belum. Istilah umumnya disebut nakokake artinya menanyakan. Kalau sang pemuda belum kenal dengan sang gadis, maka adanya upacara nontoni, yaitu sang pemuda diajak keluarganya datang ke rumah sang gadis, pada saat pemuda itu diajak/ diberi kesempatan untuk nontoni sang gadis pilihan orang tuanya.  Bila cocok artinya saling setuju, kemudian disusul dengan upacara nglamar atau meminang. Dalam upacara nglamar, keluarga pihak sang pemuda menyerahkan barang kepada pihak sang gadis sebagai peningset yang terdiri dari pakaian lengkap, dalam bahasa Jawanya sandangan sapangadek.
Untuk sekarang hal tersebut sudah tidak ada. Untuk jaman sekarang anak mencari sendiri calon pengantinnya. Setelah laki-laki tersebut mendapatkan jodoh pilihannya, kemudian keluarga langsung berkunjung ke rumah si perempuan untuk melamarkan si perempuan untuk anak laki-lakinya.
b.        Menjelang hari perkawinan diadakan upacara srah-srahan atau asok tukon
Yaitu pihak calon pengantin putra menyerahkan sejumlah hadiah perkawinan kepada keluarga pihak calon pengantin putri berupa hasil bumi, alat-alat rumah tangga, ternak dan kadang-kadang ditambah sejumlah uang.
Untuk yang satu satu ini sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Dusun Gunungasem, akan tetapi srah-srahan dilakukan bersamaan dengan acara ijab atau akad nikah yang diadakan dikeluarga perempuan.
c.         Kira-kira 7 hari (dulu 40 hari) sebelum hari pernikahan calon pengantin putri dipingit
Artinya tidak boleh keluar dari rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon suaminya. Sehari atau dua hari sebelum upacara akad nikah di rumah orangtua calon pengantin putri membuat tratag dan menghias rumah. Kesibukan tersebut biasanya juga dinamakan upacara pasang tarub.
Untuk hal acara pingitan sekarang tidak semua orang melakukannya, bahkan mungkin sudah tidak ada yang melakukannya dengan berkembangnya jaman pemikiran semakin lama juga terpengaruh. Untuk sekarang ada keluarga yang sengaja mengadakan acara resepsi dengan menggabungkan pihak laki-laki dan perempuan yang sudah mengadakan ijab qobul terlebih dahulu. Jadi pembuatan tratag ada yang jadi satu karena acaranya yang diadakan secara bersama, dan ada juga yang membuat sendiri-sendiri dikediaman masing-masing.
d.        Pada pagi harinya atau sore harinya dilangsungkan upacara ijab kabul yaitu meresmikan kedua insan antara pria dan wanita yang memadu kasih telah sah menjadi suami istri.
Acara ijab qobul dulu dan sekarang biasanya bedhol dalam bahasa jawa (mengundang penghulu ke rumah pengantin perempuan). Aturan dalam acara resepsi pada jaman dulu diantaranya diadakanya nubruk kembar mayang dan diperebutkan dengan orang yang menyaksikan. Kembar mayang tersebut ada berupa benda-benda yang dibuat dari janur (daun kelapa yang masih muda) seperti, keris, pedang, belalang-belalangan. Setelah nubruk kembar mayang kemudian si pengantin menginjak pasangan (alat yang dipakai untuk membajak sawah) kemudian dilanjutkan acara injak telur dan menyuci kaki pengantin pria. Setelah itu pengantin pria memberikan kroncong-kroncong (gunakaya) yang isinya berupa biji-bijian, dimana sebagai simbol seorang suami memberikan nafkah kepada istri untuk diterima istri dan dikelola oleh sang istri. Kemudian dilanjutkan acara dulang-dulangan (suap-suapan), dan dilanjutkan acara sungkeman meminta doa restu kepada kedua orang tua mempelai. Setelah itu adanya pasrah tompo temanten putra kepada pengantin putri dari perwakilan keluarga pengantin pria, kemudian diterima oleh perwakilan pihak pengantin wanita. Setelah selesai acara dari pihak pengantin putri, kemudian ada acara boyongan, dimana pengantin putri diboyong ke rumah pengantin putra.
Untuk acara nubruk kembar mayang pada jaman sekarang sudah tidak ada. Dan untuk injak telur dan memberikan kroncong-kroncong, suap-suapan ada beberapa yang masih melakukannya. Dalam adat yang dianut sekarang pernikahan lebih ke islami karena masyarakat di Desa Gunungasem yang notabene beragama islam sehingga untuk sekarang acara pernikahan lebih kepada penggunaan busana muslim. Untuk acara ijab qobul masih sama, kemudian adanya sungkem untuk beberapa saja yang masih memakai. Dilanjutkan dengan acara srah tompo dan juga ada acara walimah (pengajian) dan yang terakhir adanya acara boyongan.